NASKH DALAM AL – QUR’AN DAN AL - SUNNAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan
kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an
yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian.
Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa
berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya
Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk
pengertian hunna umm al-kitabyang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan
pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan
sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan
undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus
benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan
ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab
al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup
nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang
cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang
menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.
1.2
RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa definisi kehujahan Al Qur’ an dan Al Sunnah ?
2. Apa definisi dari
nasikh dan mansukh?
3. Apa saja syarat dan macam-macam nasikh dan mansukh?
4. Apasaja yang
kemungkinan terjadinya nasikh dan mansukh?
5. Bagaimana
ruanglingkup naskh?
6. Apa hikmah
atau Kaidah dari naskh al mansukh?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
ini adalah:
1.
Mengetahui dan memahami definisi dari kehujahan al qur’an dan
al sunnah
1. Mengetahui dan memahami definisi dari nasikh dan mansukh.
2. Mengetahui syarat dan macam-macam nasikh dan mansukh.
3. Mengetahui kemungkinan terjadinyana sikh dan mansukh.
4. Mengetahui ruanglingkup naskh.
5. Mengetahui hikmah atau kaidah dari naskh wal
mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Kehujjahan Al-Quran dan Al Sunnah
Tidak
dibenarkan seorang mujtahid menggunakan dalil lain sebagai hujjah sebelum
meneliti ayat-ayat al-Qur’an. Pernyataan ini disepakati oleh seluruh ulama yang
menyatakan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam. Berikut pandangan para
ulama mengenai kehujjahan Al-Qur’an[3] :
1. Pandangan
Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sepakat dengan Jumhur Ulama’ bahwa Al
quran merupakan sumber hukum islam, namun menurut sebagian besar Ulama’ Imam
Abu Hanifah berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama’ mengenai Al quran itu
mencakup lafadz dan maknanya.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Imam Abu
Hanifah berpendapat Al quran hanya maknanya saja adalah ia membolehkan sholat
dengan menggunakan bahasa selain arab, misalnya bahasa persi walaupun tidak
dalam keadaan darurat.
2. Pandangan
Imam Malik
Menurut Imam Malik hakikat Al quran adalah kalam Allah
yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. dan bukan makhluq karena kalam Allah
adalah sifat Allah, sifat Allah tidak di katakana makhluq, bahkan ia memberikan
predikat kafir zindiq terhadap orang yang mengatakan itu makhluq, dengan
demikian dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama’ salaf (shohabat dan tabi’in)
yang membatasi pembahasan Al quran sesempit mungkin karena mereka khawatir
melakukan kebohongan terhadap Allah, dan ia pun mengikuti jejak tabi’in dalam
cara menggunakan ro’yu.
Berdasarkan ayat ketujuh surat Ali Imran, petunjuk
lafadz yang terdapat dalam Al quran terbagi dalam 2 macam, yaitu Mukhamat dan
Mutasyabihat.
Ayat – ayat Mukhamat adalah ayat yang
terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat –
ayat Mutasyabihat adalah ayat – ayat yang mengandung beberapa pengertian yang
tidak dapat di tentukan artinya, kecuali setelah di selidiki secara
mendalam. Mukhamat terbagi menjadi 2 bagian, yaitu lafadz nash dan
lafadz dzahir Lafadz nash adalah lafadz yang menunjukkan makna yang jelas dan
tegas (qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain. Lafadz dzahir
adalah lafadz yang menunjukkan makna jelas namun masih mempunyai kemungkinan
makna lain.
Menurut Imam Malik keduanya dapat di jadikan hujjah,
hanya saja lafadz nash di dahulukan daripada lafadz dzahir, menurutnya dilalah
nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah dzahir termasuk dzanni, sehingga
apabila terjadi pertentangan antara keduanya maka yang di dahulukan adalah
dilalah nash.
3. Pandangan
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i sebagaimana para ulama’ lainnya
menetapkan bahwa Al quran merupakan sumber hokum islam yang paling pokok bahkan
beliu berpendapat “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun,
kecuali petunjuknya yang terdapat dalam Al quran “ (Asy Syafi’i, 1309:20). Oleh
karena itu Imam Syafi’i senantiasa mencantumkan nash – nash Al quran setiap
kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang di gunakannya, yakni deduktif
. Namun Imam Syafi’i menganggap bahwa Al quran tidak
bias di lepaskan dari Assunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat
sekali.
Kalau Ulama’ lain menganggap bahwa sumber
hokum islam yang pertama yaitu Al quran kemudian Assunnah, maka Imam Syafi’i
berpendapat bahwa sumber hokum islam yang pertama itu Al quran dan Assunnah,
sehingga seakan – akan beliau menganggap berada pada satu
martabat. Namun sebenarnya Imam Syafi’i pada beberapa tulisannya
yang lain tidak menganggap bahwa Al quran dan Assunnah berada dalam satu
martabat, dan kedudukan Assunnah itu setelah Al quran, tetapi Imam Syafi’i
menganggap keduanya berasal dari Allah SWT. meskipun beliau mengakui bahwa
diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurut beliau Assunnah merupakan penjelas
berbagai keterangan yang bersifat umum yang berada dalam Al quran, kemudian
Imam Syafi’i menganggap seluruhnya Al quran itu bahasa arab dan beliau
menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al quran terdapat bahasa ajami
(luar arab) diantar pendapatnya adalah firman Allah SWT. :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya :“sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al quran dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya”
Dengan demikian
Imam Syafi’i mementingkan penggunaan bahasa arab misalkan dalam sholat. Dan
beliau mengharuskan penguasaan bahasa arab bagi mereka yang ingin memahami dan
istinbath hokum dari Al quran.
4. Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syariat islam, yang
di dalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan
zaman dan tempat. Al quran juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan
mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya
agama islam.
Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat bahwa Al quran itu sebagai sumber pokok islam, kemudian
disusul oleh Assunnah. Namun seperti halnya Imam Syafi’i, beliau memandang
bahwa Assunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al quran, sehingga tak
jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hokum itu adalah nash, tanpa menyebutkan
bahwa sumber hokum yang itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al quran dahulu atau
Assunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al quran dan
Assunnah.
1.2
Macam-macam hukum Al-Qur’an :
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar
hukum, yaitu sebagai berikut[4] :
1.
Hukum I’tiqadiah, yakni
hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan
Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu
Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.
Hukum Amaliah, yakni
hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.
Hukum
Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial.Hukum
ini tercermin
dalam
konsep Ihsan.Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara’ dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:
1. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan
alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai
berikut:
a) Hukum munakahat
(pernikahan).
b) Hukum
faraid (waris).
c) Hukum
jinayat (pidana).
d) Hukum
hudud (hukuman).
e) Hukum jual-beli dan perjanjian.
f) Hukum tata Negara/kepemerintahan
g) Hukum
makanan dan penyembelihan.
h) Hukum
aqdiyah(pengadilan).
i) Hukum
jihad (peperangan).
j) Hukum
dauliyah(antarbangsa).
Nash-nash al-Qur’an seluruhnya
bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya
dari Rasulullah saw. kepada kita[5]. Nash-nash al-Qur’an dari segi dalalahnya
dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Nash
yang Qath’i dilalah-nya
Yaitu nash yang
tegas dan jelas maknanya tdk bisa di takwil, tdk mempunyai makna yg lain, dan
tdk tergantung pd hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yg dapat
dikemukakan di sini, adalah ayat yg menetapkan kadar pembagian waris,
pengharaman riba , pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus
kali dera, dan sebagainya. Ayat ayat yang menyangkut hal hal tersebut, maknanya
jelas tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam
memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf,1972;35)
2. Nash
yang Zhanni dilalah-nya
Yaitu
nash yg menunjukkan suatu makna yang dapat di takwil atau nash yang mempunyai
makna lebih dari satu, baik karena lafazdnya musytarak (homonim) ataupun karena
susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah
isyaratnya , iqtidhanya, dan sebagainya.
Sunnah
atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan
menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya
(yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti
membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah
(perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan)[6].
Hujjah berarti
landasan/argumentasi. Sunnah atau hadits nabi Muhammad Saw merupakan salah satu
sumber ajaran agama Islam sekaligus merupakan wahyu dari Allah seperti
Al-Qur’an, hanya saja perbedaan antara keduanya terletak pada sisi lafadz dan
makna. Dimana lafadz dan makna Al-Qur’an berasal dari Allah Swt, sementara
Hadits maknanya dari Allah SWT akan tetapi lafadznya dari Rasulullah SAW,
kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya
saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum
muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Para
ulama sepakat bahwa sunah menempati posisi kedua
setelah Alquran dalam sistem hukum Islam yaitu sebagai berikut :
1. Sunah berfungsi sebagai penjelas bagi Al Quran
2. Memerinci hal-hal yang disebutkan oleh Alquran secara
global
3. Menentukan arti khusus ayat-ayat yang bersifat umum
4. Menjelaskan ayat yang mengandung makna yang pelik
5. Serta menguraikan ayat-ayat yang sekilas tampak
ringkas[7]
2.2.3
Hubungan As-Sunnah dan Al-Qur’an
Al-hadits
didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi As-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai As-Sunnah. Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran[8].
Adapun
fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan
pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang
sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun
fungsi As-Sunnah terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di
dalamnya Ada tiga macam, yakni:
1. Menguatkan
(mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam
Alquran.
2. Memberikan
keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
3. Menciptakan
hukum baru yang tiada terdapat didalam Alquran.
3.3.1 DefinisiNasikhdanMansukh
A. Pengertian Nasikh
Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai
menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut
istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’
dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
“Mengangkat / menghapus hukum syara’
dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.[1]
- Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian
nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu:[2]
a. Pembatalan hukum yan
ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan
hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d. Penetapan
syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
- Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas
pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut
atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[3]
B. Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang
dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم[4] yaitu “hukum
yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama
yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian.
3.3.2 Syarat,
Macam Nasikh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul
fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria
berikut :
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan
syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh
(yang dihapus).
c. Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari
mansukh.
3.3.3 Syarat-syarat nasikh dan
mansukh
1. Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2. Dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus
berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai
dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3. Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh
dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh:
ثماتموالصيامbukan merupakan mansukh dari kalimat إلىالليل (yang dianggap
nasikh).
Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan
mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut
termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan
takhsis.
4. Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya
pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
3.3.4 Macam-macam
nasikh dan mansukh
1.
Nasikh Badal (nasakh yang ada penggantinya),
terbagi menjadi tiga :
- Nasikh dengan badal akhof (pengganti yang lebih
ringan)
- Nasikh mumatsil (pengganti serupa)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
2. Nasikh Ghairu Badal (nasikh yang
tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada
orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3. Nasikh hukum
dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga
tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4. Nasikh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih
ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5. Nasikh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya
tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.[5]
6. Nasikh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti
haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori
dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang
pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah
disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak
memberikan contohnya.
Menurut jenisnya nasikh dan mansukh dibagi menjadi:
1. Nasikh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh ini telah
disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat
al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2. Nasikh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua macam :
a. Nasikh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak
membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
b. Nasikh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini
dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir
sama-sama wahyu.
3. Nasikh sunnah dengan al-Qura’an
Nasikh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur
ulama’ contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan
sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4. Nasikh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4:
a. Nasikh mutawattir dengan mutawattir.
b. Nasikh ahad dengan ahad.
c. Nasakh ahad dengan mutawattir.
d. Nasikh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke
empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.[6]
3.3.5 Bentuk-Bentuk
dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam
Al-Qur’an dibai menjadi empat macam yaitu:
1. Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas
menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang
perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim
melawan sepuluh orang kafir:
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهو . (الانفال : )
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin
untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang
kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini
di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir
pada ayat 66 dalam surat yang sama:
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا مائتين وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين . ( الانفال : )
Artinya :
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan
mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka
akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang
saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah
masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang
kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang
mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat
Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين . ( البقرة : )
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang
mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya
secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat
Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240
dalam surat yang sama.
4. Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang
berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu,atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum yang
muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an,
bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh,
pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas
ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah)
secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca
dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat
Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian
di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat,
hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan
bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah :
12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة ذ لك خيرلكمواطهر فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم . ( المجادلة :
)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“ (
QS.Mujadilah : 12 ).
Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13:
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله والله خبيربما تعملون .
( المجادلة : )
Artinya:
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena
kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS.Al-Mujadilah:13)
3. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam.
Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan
mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina,
maka rajamlah keduanya“.
Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas
diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan
bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan
bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :
“Seorang pria tua dan seorang wanita tua,
rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan
(zina).”
3.3.6 Kemungkinan
Terjadinya Nasikh dan Mansukh
Pendapat para jumhur ulama mengenai kemungkinan
terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma’ kaum
muslimin/jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang
diperbolehkannya nasakh al-Qur’an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang
artinya: “apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia)lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding
dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 106). Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya : “dan
apabila kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah
lebih mengetahui yang diturunkannya”. (Q.S. An-Nahl : 101).
2. Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar
datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa
nasakh itu tidak mempunyai hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan
diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani)
mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata
lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah
yang mengetahui semua.
3. Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak
mungkin terjadi.
Pendapat ini merupakan pendapat golongan
Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui
terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang
dalam Syara’ Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan
pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur’an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya
: “yang datang kepadanya ( al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun
belakang”.
3.3.7 Cara Mengetahui Nasikh Mansukh
dan Contohnya:
Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal
berikut :
1. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW,
seperti hadits ;
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرَهَا
“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur,
tetapi (sekarang) berziarahlah“.
2. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti
hadits Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
كَانَ اخِرَ الامْرَيْنِ مِنْ رَسُوْلِ اللَّهِ ص.م. تَرْكَ الْوُضُوْءِ مِمَّا مَسَّتِ النّأرُ
“dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah
tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api”. (HR.Abu Dawud
dan al Nasa’i )
3. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin
‘Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam batal puasanya”.
Dan hadits Ibnu Abbas r.a. ia berkata :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal
beliau sedang berpuasa“.
Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama
(hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada
tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas ) terjadi pada waktu Haji
Wada’, yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua merupakan Nasikh
bagi hadits yang pertama.
3.3.8 Ruang
Lingkup Naskh
Imam Suyutti mengatakan ; Bahwa naskh hanya
terjadi pada perintah(amr), dan larangan (nahyi), baik yang diungkap dengan
redaksi sharikh (tegas) atau yang tidak tegas,Atau yang diungkap dengan kalimat
berita (khabar), yang bermakna amr (perintah), atau yang bermakna nahy
(larangan).
Dan persoalan tersebut di atas, tidak
berhubungan dengan persoalan, akidah, baik mengenai Dzat Allah dan sifat-sifatNya,
Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak
bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua’malah, karena syari’at
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَاوَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَاوَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَوَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَتَتَفَرَّقُوا فِيهِ .
Artinya:
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. (QS. ِAs-Syuraa: 13)
3.3.9 Hikmah
Adanya Naskh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan
dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur
dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu
Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan,(7) khususnya di
bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik
Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam
proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan
berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian
secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal.
Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan,
bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau melayangkan pandanganmu ke alam yang
hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah
undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual,
seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi
remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Syari'at Allah adalah
perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup
hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib
dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan
di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-
Tidak
dibenarkan seorang mujtahid menggunakan dalil lain sebagai hujjah sebelum
meneliti ayat-ayat al-Qur’an
-
Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan,
pembatalan, menghapus, mengganti, menukar.
-
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus,
dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم [4] yaitu “hukum
yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama
yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
http://itarizki.blogspot.com/2011/04/style-definitions-table_2%203.html
(Diakses 28 September 2014 : 14.15)
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur’an;
Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Jogyakarta: LKis Pelangi Aksara, cet 4
2005
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil
Qur’an, diterj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera
AntarNusa, cet 14, 2011.
————–, Pengantar studi ilmu Al Qur’an, diterj,
H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka al Kautsar, cet 4, 2009
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu
tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005.
Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadits, Bandung : PT :
Remaja Rosdakarya, 2012, hal. 348-349
Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'. Prodial Pratama
Sejati Press. 2007.hal.32.
Muhammad Ali Al-Shabuni,
Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media . 2007.hal. 37.
________________________________________
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil
al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, hal. 176
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung : MIzan, 1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna’ Khalil Qattan, Mahabits fi ‘Ulumil
Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, HAL. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit,
Hal 198
[6] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna’ Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226
0 Response to "NASKH DALAM AL – QUR’AN DAN AL - SUNNAH"
Post a Comment