MAKALAH SEJARAH
MAKALAH
ASAL USUL KOTA SURABAYA
LOGO
Disusun
oleh :
…………………….
NIM. ……………
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
……..
2011
KATA PENGANTAR
Segala
puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan YME yang telah melimpahkan hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.
Akhirnya,
tiada suatu usaha yang besar akan berhasil tanpa dimulai dari usaha yang kecil.
Semoga makalah ini bemanfaat bagi teman-teman terutama bagi kami sendiri yang
menyusun makalah ini.
Tentunya
makalah ini jauh dari sempurna sebab memiliki banyak kekurangan oleh karena itu
saya mengharapkan kritik, saran dan masukan untuk perbaikan serta penyempurnaan
makalah ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Beberapa ahli sejarah mengungkapkan,
dulu Surabaya adalah muara sungai dan terbentuk oleh gugusan kepulauan. Muara
Sungai Kali Brantas dengan anaknya Kali Surabaya masih di Wonokromo. Sedangkan
Surabaya sekarang merupakan pulau-pulau kecil yang terjadi akibat lumpur yang
hanyut dari letusan Gunung Kelud. Namun, lama-kelamaan terus terjadi
pendangkalan di muara sungai yang terletak di Selat Madura ini. Akibat sedimen
yang terus bertambah, endapan lumpur semakin meninggi, sehingga selat-selat
yang terletak di antara gugus pulau-pulau kecil itu menyempit. Di antara
pulau-pulau kecil itu banyak yang menyatu, sementara ada pula selat di antara
pulau-pulau kecil itupun berubah menjadi anak sungai atau kali.
Kejadian yang unik itu ditopang pula
dengan proses tektonik. Permukaan daratan Surabaya naik 5 sampai 8 centimeter
per-abad. Sementara itu daratan atau garis pantai bertambah ke arah laut
rata-rata 7,5 centimeter per-tahun. Dalam catatan sejarah, Gunung Kelud
rata-rata meletus setiap 15 tahun sekali. Memang, apabila Kelud meletus, dua
wilayah yang menjadi sasaran utama, yaitu Blitar dan Kediri. Tetapi, karena
Sungai kali Brantas mengalir dari arah Kediri sampai ke Surabaya, maka semburan
gunung yang membawa lava, lahar dan lumpur itu hanyut sampai ke muara sungai.
Selain membuat pendangkalan di badan sungai, endapan terbanyak justru di
muaranya Selat Madura, yaitu Surabaya dan Sidoarjo.
Begitulah asal-usul dan cikal-bakal
kejadian daratan di muara Kali Surabaya, sehingga daerah yang semula bernama
Junggaluh atau Ujunggaluh atau Hujunggaluh, kemudian bernama Surabaya. Seiring
dengan perkembangan ruang dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia
pantai yang berubah menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan
kemaritiman. Dunia maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri.
Inilah ciri khas Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah
pendidikan, budaya dan pariwisata seperti sekarang ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan
permasalahannya, yaitu:
a. Bagaimanakah
asal – usul surabaya?
b. Bagaimanakah
Asal – usul penduduknya?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
dari adanya pembahasan mengenai asal-usul kota Surabaya, yaitu:
a. Untuk
mengetahui asal – usul dari kota Surabaya
b. Untuk
mengetahui asal – usul dari penduduk Surabaya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Asal
Nama Suarabaya
Pada umumnya, masyarakat Kota
Surabaya menyebut asal nama Surabaya adalah dari untaian kata Sura dan Baya
atau lebih popular dengan sebutan Sura ing Baya, dibaca Suro ing Boyo.
Paduan dua kata itu berarti “berani menghadapi tantangan”. Namun berdasarkan
filosofi kehidupan, warga Surabaya yang hidup di wilayah pantai menggambarkan
dua perjuangan hidup antara darat dan laut. Di dua alam ini ada dua penguasa
dengan habitat bertetangga yang berbeda, tetapi dapat bertemu di muara sungai.
Dua makhluk itu adalah ikan Sura (Suro) dan Buaya (Boyo).
Perlambang kehidupan darat dan laut
itu, sekaligus memberikan gambaran tentang warga Surabaya yang dapat menyatu,
walaupun asalnya berbeda. Begitu pulalah warga Surabaya ini, mereka berasal
dari berbagai suku, etnis dan ras, namun dapat hidup rukun dalam bermasyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan, ejaan nama Surabaya awalnya adalah: Curabhaya.
Tulisan ini di antaranya ditemukan pada prasasti Trowulan I dari tahun Caka
1280 atau 1358 M. Dalam prasasti itu tertulis Curabhaya termasuk
kelompok desa di tepi sungai sebagai tempat penambangan yang dahulu sudah ada (nadira
pradeca nguni kalanyang ajnahaji pracasti).
Nama Surabaya muncul dalam kakawin
Negarakartagama tahun 1365 M. Pada bait 5 disebutkan: Yen ring Janggala
lok sabha n rpati ring Surabhaya terus ke Buwun. Artinya: Jika di Jenggala
ke laut, raja tinggal di Surabaya terus ke Buwun. Cerita lain menyebutkan
Surabaya semula berasal dari Junggaluh, Ujunggaluh atau Hujunggaluh. Ini,
terungkap pada pemerintahan Adipati Jayengrono. Kerabat kerajaan Mojopahit ini
diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memerintah di Ujunggaluh. Di bawah
pemerintahan Jayengrono, perkembangan pesat Ujunggaluh sebagai pelabuhan pantai
terus manarik perhatian bangsa lain untuk berniaga di sini. Suatu keanehan,
ternyata sejarah Surabaya ini terputus-putus. Kalau sebelumnya Surabaya
dianggap sebagai penjelmaan dari Hujunggaluh atau Ujunggaluh, namun belum
satupun ahli sejarah menemukan sejak kapan nama Hujunggaluh itu “hilang” dan
kemudian sejak kapan pula nama Surabaya, benar-benar mulai dipakai sebagai
pengganti Hujunggaluh. Perkiraan sementara, hilangnya nama Hujunggaluh itu pada
abad ke-14.
Buku kecil yang diterbitkan PN.Balai
Pustaka tahun 1983, tulisan Soenarto Timoer, mengungkap cerita rakyat sebagai
sumber penelitian sejarah. Bukunya berjudul: Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia
“Mitos Cura-Bhaya”. Dari tulisan sepanjang 61 halaman itu, Soenarto
Timoer membuat kesimpulan, bahwa hari jadi Surabaya harus dicari antara
tahun-tahun 1334, saat meletusnya Gunung Kelud dan tahun 1352 saat kunjungan
Raja Hayam Wuruk ke Surabhaya (sesuai Nagarakrtagama, pupuh XVII:5).
Surabaya tidak bisa dilepaskan dari
nama semula Hujunggaluh, karena perubahan nama menunjukkan adanya suatu motif.
Motif dapat pula menunjukkan perkiraan kapan perubahan itu terjadi. Bahwa
Hujunggaluh itu adalah Surabaya yang sekarang dapat diteliti dan ditelusuri
berdasarkan makna namanya, lokasi dan arti kedudukannya dalam percaturan
negara. Ditilik dari makna, nama “Hujung” atau ujung tanah yang menjorok ke
laut, yakni tanjung, dapat dipastikan wilayah ini berada di pantai. “Galuh”
artinya emas. Dalam bahasa Jawa tukang emas dan pengrajin perak disebut: Wong
anggaluh atau kemasan seperti tercantum dalam kamus Juynboll dan
Mardiwarsito. Dalam purbacaraka galuh sama artinya dengan perak. Hujunggaluh
atau Hujung Emas, bisa disebut pula sebagai Hujung Perak, dan kemudian menjadi
“Tanjung Perak” yang terletak di muara sungai atau Kali Emas (Kalimas). Nah,
bisa jadi Tanjung Perak sekarang itulah yang dulu bernama Hujung galuh.
Dilihat dari lokasi Surabaya
sekarang, berdasarkan prasasti Klagen, lokasi Hujunggaluh itu sebagai jalabuhan.
Artinya, tempat bertemu para pedagang lokal dan antarpulau yang melakukan
bongkarmuat barang dengan perahu. Diperkirakan, kampung Galuhan sekarang yang
ada di Jalan Pawiyatan Surabaya, itulah Hujunggaluh, Di sini ada nama kampung
Tembok. Konon tembok itulah yang membatasi laut dengan daratan.
Tinjauan berdasar arti kedudukannya,
pada tahun 905, Hujunggaluh tempat kedudukan “parujar i sirikan”
(prasati Raja Balitung, Randusari, Klaten). Parujar adalah wali daerah
setingkat bupati. Bisa diartikan, bahwa Hujunggaluh pernah menjadi ibukota
sebuah daerah setingkat kabupaten, satu eselon di bawah kedudukan “raka i
sirikan”, pejabat agung kerajaan setelah raja.
Mitos dan mistis sejak lama
mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di Pulau Jawa. Maka mitos
Cura-bhaya yang dikaitkan dengan nama Surabaya sekarang ini tentunya
dapat dihubungkan pula dengan mitologi dalam mencari hari jadi Surabaya.
Perubahan nama dari Hujunggaluh menjadi Surabaya dapat direkonstruksi dari
berbagai sudut pandang.
Bencana alam meletusnya gunung Kelud
tahun 1334 membawa korban cukup banyak. Peristiwa itu mengakibatkan terjadinya
perubahan di muara kali Brantas dengan anaknya Kalimas. Garis pantai
Hujunggaluh bergeser ke utara. Timbul anggapan pikiran mistis yang mengingatkan
kembali kepada pertarungan penguasa lautan, yakni ikan hiu yang bernama cura,
melawan penguasa darat, buaya (bhaya). Dalam dunia mistis kemudian
menjadi mitos, bahwa untuk menghentikan pertikaian antara penguasa laut dengan
darat itu, maka digabungkan namanya dalam satu kata Cura-bhaya atau
sekarang Surabaya.
Mitos ikan dengan buaya ini sudah
ada pada abad XII-XIII, sebagai pengaruh ajaran Budha Mahayana melalui cerita
Kuntjarakarna. Reliefnya terpahat di dinding gua Selamangleng, Gunung Klotok,
Kediri. Mitos ikan dan buaya yang sekarang menjadi lambang Kota Surabaya,
hanyalah merupakan sepercik versi lokal, tulis Soenarto Timoer. Jadi mitos cura-bhaya,
hanya berlaku di Hujunggaluh. Cura-bhaya adalah nama baru pengganti
Hujunggaluh sebagai wujud pujian kepada sang Cura mwang Bhaya yang menguasai
lautan dan daratan.
Dari gugus pulau-pulau kecil yang
disebut pulo di muara sungai Kalimas yang berinduk ke sungai Kali Brantas itu,
ada selat-selat yang dulu diberi nama kali. Jadi tidaklah mengherankan ada nama
tempat di Surabaya ini yang disebut pulo dan kali. Di sini pola hidup dan
kehidupan warga asli adalah memancing dan berburu. Rumah-rumah penduduk kampung
asli Surabaya dulunya berada di atas tiang dan di atas permukaan air,
sebagaimana umumnya permukiman pantai. Sebagai wilayah berada di muara sungai
yang berkembang menjadi pelabuhan, keberadaannya diakui oleh pemerintah
penjajah Belanda di awal abad ke 16. Evolusi menjadi kota besar mulai terjadi
setelah dilakukan pemetaan wilayah oleh Muller tahun 1746. Pemetaan wilayah
Surabaya itu atas perintah Gubernur Jenderal Belanda wilayah Hindia Belanda
yang mendarat 11 April 1746 di utara Surabaya.
Awalnya luas kota Surabaya yang
secara otonom diserahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat pembentukan
kota 1 April 1906 di bawah pemerintahan walikota (burgermeester),
sekitar 5.170 hektar atau 51,70 kilometer per-segi. Setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Pemerintahan Kota Surabaya dikukuhkan
dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 dengan luas wilayah 67,20 kilometer per-segi
atau 6.720 hektar. Kemudian terjadi perluasan kota dengan penambahan wilayah
dari lima kecamatan dari Kabupaten Surabaya (sekarang bernama Kabupaten
Gresik). Luas kota bertambah 15.461,124 hektar atau 15,46 kelometer persegi,
sehingga luas kota Surabaya menjadi 22.181,12 hektar atau 221,18 kilometer
per-segi. Setelah tahun 1965 pada keterangan dan dalam buku agenda resmi
Pemerintahan Kota Surabaya terjadi perubahan luas wilayah Kota Besar Surabaya
menjadi 29.178 hektar
Sejak tahun 1992, berdasarkan pemotretan
udara, ternyata luas Surabaya 32.636,68 hektar. Hingga sekarang, luas daratan
kota Surabaya terus bertambah. Dinas Tatakota Pemkot Surabaya, Senin, 12 Mei
2003, pernah mengungkap pertambahan luas daratan itu disebabkan lumpur yang
hanyut ke muara sungai, terutama di hilir Kali Jagir sampai daerah Wonorejo.
Akibatnya, selain muara sungai menyempit, juga semakin dangkalnya laut di muara
sungai, bahkan menimbulkan tanah oloran baru. Kalau kita amati dan kita cermat
melakukan jalan keliling kota, pertambahan daratan Surabaya itu, juga akibat
kegiatan reklamasi pantai dan pengurukann laut. Kegiatan yang dilakukan pihak
swasta ini, pertama di daerah pertambakan, pembangunan perumahan di pinggir
pantai serta perluasan daratan yang dilakukan pengelola Pantai Ria Kenjeran. Kalau
dalam buku agenda tahun 1980-an, luas Surabaya tertulis 29 ribu hektar.
Kemudian pada tahun 1990-an dari hasil pemotretan udara, luas Kota Surabaya
32,63 ribu hektar. Namun, di tahun 2003, Kepala Dinas Tatakota Pemkot Surabaya
Ir.Erlina Soemartomo (waktu itu) menyebut luas Kota Surabaya, 35 ribu hektar
lebih. Kendati demikian, pada buku kerja (agenda) resmi terbitan Pemkot
Surabaya tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006, luas wilayah kota Surabaya
tetap dicetak 326,37 km2 atau 32,63 ribu hektar lebih.
2.2 Asal
– usul Pendudsuk
Penduduk Surabaya boleh dikatakan
berasal dari pendatang. Para pendatang mulai menatap dan mendirikan
perkampungan di sekitar pelabuhan dan berkembang sampai ke darat, terutama di
pinggir Sungai Kalimas yang merupakan anak Sungai Kali Brantas. Lama kelamaan,
nama Ujunggaluh mulai dilupakan, dan namanya berubah menjadi Surabaya di bawah
pemerintahan Adipati Jayengrono. Pusat Pemerintahan Adipati Jeyangrono ini
diperkirakan di sekitar Kramat Gantung, Bubutan dan Alun-alun Contong saat ini.
Ada temuan sejarah yang mencantumkan
pada abad ke-15, bahwa waktu itu di Surabaya sudah terjadi kehidupan yang cukup
ramai. Tidak kurang 1.000 (seribu) KK (Kepala Keluarga) bermukim di Surabaya.
Orang Surabaya yang dicatat pada data itu umumnya keluarga kaya yang bertempat
tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka melakukan kegiatan bisnis dan usaha jasa
di pelabuhan.
Dari hari ke hari penduduk Surabaya
terus bertambah, para pendatang yang menetap di Surabaya umumnya datang melalui
laut. Ada yang berasal dari Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumetera. Di
samping ada yang berasal dari daratan Jawa datang terbanyak melalui sungai Kali
Brantas dan jalan darat melewati hutan. Tidak hanya itu, para pelaut itu juga
banyak yang berasal dari Cina, India dan Arab, serta Eropa. Warga pendatang di
Surabaya itu, hidup berkelompok. Misalnya, mereka yang berasal dari Madura,
Kalimantan, Sulawesi atau suku Melayu dari Sumatera, di samping bermukim di
pantai, juga banyak yang membangun perumahan di daerah Pabean dan Pegirian.
Sedangkan pendatang dari ras Arab banyak bermukim di sekitar Masjid Ampel. Etnis
Cina menempati kawasan Kembang Jepun, Bongkaran dan sekitarnya. Ini terkait
dengan dermaga pelabuhan waktu itu berada di sungai Kalimas, di sekitar
Jembatan Merah sekarang. Jumlah warga pendatang terus-menerus terjadi, akibat
semakin pesatnya kegiatan dagang dan perkembangan budaya di Surabaya.
Sejak berdirinya permukiman di
Surabaya, pertumbuhan penduduk berkembang cukup pesat. Ada yang datang melalui
laut maupun transportasi melalui sungai. Umumnya yang melewati sungai adalah
warga yang datang dari arah Blitar, Madiun, Tulungagung, Kediri dan
lain-lainnya. Mojokerto yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, menjadikan
Surabaya sebagai pelabuhan lautnya. Mereka mendirikan permukiman di sepanjang
Kalimas, anak Kali Brantas yang dijadikan poros lalulintas utama saat itu.
Kemudian menyebar sampai ke Keputran, Kaliasin, Kedungdoro, Kampung Malang,
Surabayan dan Tegalsari. Setelah koloni dagang dari Eropa yang dimotori bangsa
Portugis, Spanyol dan Belanda datang dan menetap di Surabaya, di tahun 1500-an,
mereka mendirikan gudang dan tempat tinggal di sekitar pusat pemerintahan
Adipati Surabaya, yakni di sekitar Alun-alun Contong, Bubutan, Gemblongan,
Blauran, Pasar Besar dan wilayah sekitarnya. Belanda yang merupakan koloni
dagang rempah-rempah terbesar saat itu, mulai membentuk pemerintahan. Tanpa
disadari oleh Bangsa Indonesia, Belanda mulai mencengkeramkan “kukunya” di Bumi
Pertiwi ini sebagai penjajah. Termasuk di Surabaya.
Pemerintahan kota pertama kali
dibentuk tanggal 1 April 1906, penduduk Kota Surabaya berjumlah 150 ribu orang
lebih. Limabelas tahun kemudian, dalam cacah jiwa atau sensus penduduk tahun
1920, penduduk Surabaya tercatat 192.180 orang. Sepuluh tahun kemudian pada
sensus penduduk tahun 1930, warga Kota Surabaya sudah berkembang menjadi
341.675 orang.
Pada zaman Jepang, di bulan
September 1943 diselenggarakan cacah jiwa (sensus penduduk) Kota Surabaya
(Surabaya Syi). Jumlah penduduk Surabaya waktu itu tercatat 518.729
orang. Dalam sensus penduduk tahun 1961 tercatat resmi 1.007.945 jiwa dan tahun
1971 naik lagi menjadi 1.556.255 jiwa. Tahun 1980 penduduk resmi yang terdaftar
sebagai penduduk Surabaya berkembang menjadi 2.027.913 jiwa dan tahun 1990 naik
menjadi 2.473.272 jiwa.
Data dari Dinas Kependudukan Kota
Surabaya yang dikeluarkan pada bulan Mei 2004, seolah-olah jumlah penduduk
Surabaya dari tahun 1990 hingga tahun 1999 “berkurang”. Padahal ini tidak
mungkin, justru sebaliknya. Manakah data kependudukan yang akurat? Mustahil
penduduk Surabaya berkurang, yang pasti, penduduk Surabaya terus bertambah. Data
resmi yang disajikan memang begitu kenyataannya. Tahun 1999 penduduk Surabaya
tercatat 2.406.944 jiwa. Tahun 2000 sebanyak 2.443.558 jiwa, tahun 2001
bertambah jadi 2.473.461 jiwa, tahun 2002 naik lagi jadi 2.504.128 jiwa dan
akhir tahun 2003 menjadi 2.656.420 jiwa. Data pada akhir April 2004, warga kota
Surabaya berjumlah 2.659.566 jiwa. Data inipun dikutip oleh Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil berikutnya, yakni saat dikepalai oleh Drs.H.Hartojo. Sama
dengan sebelumnya, sensus penduduk tahun 2000, penduduk Surabaya berjumlah
2.443.558 orang.
Secara rinci, dinas kependudukan
dalam buku Informasi Kependudukan Kota Surabaya tahun 2004 berturut-turut disebutkan,
penduduk Surabaya tahun 2001 sebanyak: 2.473.461 orang, tahun 2002 bertambah
jadi: 2.504.128, tahun 2003 tambah lagi menjadi: 2.656.420 orang dan tahun 2004
menjadi: 2.859.655 orang.
Tahun 2006 hingga Agustus, tercatat
jumlah penduduk Surabaya: 2.987.456 orang. Pada awal tahun 2007 diperkirakan
sudah mencapai 3,3 juta orang.
Dari BPS (Biro Pusat Statistik) lain
lagi. Tahun 1992 penduduk Surabaya berjumlah 2.259.283 jiwa, kemudian tahun
berikutnya ditulis sebagai berikut: 1993 (2.286359 jiwa), 1994 (2.306.474
jiwa), 1995 (2.339.335 jiwa), 1996 (2.347.520 jiwa), 1997 (2.356.487 jiwa),
1998 (2.373.282 jiwa), 1999 (2.407.146 jiwa), 2000 (2.444.956 jiwa), 2001
(2.599.512 jiwa).
Data tentang jumlah penduduk Kota
Surabaya, dalam “Resume” RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Surabaya
yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, berbeda
lagi.
Penduduk Surabaya tahun 2001 hingga
2005, kemudian proyeksi penduduk Surabaya tahun 2006 hingga 2013 adalah sebagai
berikut: Tahun 2001 (2.452.222 jiwa), 2002 (2.471.557 jiwa), 2003 (2.485.761
jiwa), 2004 (2.509.833 jiwa), 2005 (2.528.777 jiwa). Proyeksi tahun 2006
(2.547.586 jiwa), 2007 (2.566.257 jiwa), 2008 (2.584.894 jiwa), 2009 (2.603.258
jiwa), 2010 (2.621.558 jiwa), 2011 (2.639.724 jiwa), 2012 (2.657.766 jiwa) dan
tahun 2013 (2.675.671 jiwa).
Umumnya para pejabat dan politisi di
Surabaya dewasa ini menyebut angka rata-rata penduduk Surabaya adalah sekitar 3
juta jiwa lebih. Di samping penduduk tetap, ada penduduk tetap tetapi tidak terdaftar.
Di kota Surabaya juga bermukim penduduk musiman. Akhir 2008 jumlahnya mencapai
20 ribu jiwa. Kecuali itu, sebagai sebuah kota dengan kegiatan ekonomi dan
pemerintahan di berbagai sektor, ada penduduk siang dan penduduk malam.
Penduduk pada siang hari di bisa mencapai 5 sampai 6 juta jiwa. Pada malam
hari, penduduk Surabaya sebagian besar pulang dan tidur di Sidoarjo, Gresik,
Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, bahkan di Malang.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Letusan tahun 1966 dan 1990, tidak
kurang satu kali letusan memuntahkan lahar 28 juta meter kubik. Lahar yang
dimuntahkan itu, selain menimbun kawasan di sekitar gunung, juga mengalir di
lereng gunung terus ke sungai. Lahar yang berubah menjadi pasir dan lumpur itu
mengalir melalui Sungai Kali Brantas hingga muara. Akibat yang terjadi, juga
mendangkalkan permukaan sungai, mempersempit lebar sungai dan menambah endapan
di muara sungai, laut di Selat Madura. Tidaklah mengherankan, kalau sampai
sekarang Surabaya berada di dataran rendah dan terletak pada ketinggian hanya 0
sampai 6 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau Surabaya banjir atau pasang
naik mencapai bibir daratan, tidak perlu heran dan sebenarnya tidak perlu
dirisaukan.
Surabaya yang dulunya hutan
belantara di muara sungai Kali Brantas, kemudian melahirkan sungai yang berasal
dari selat-selat yang terdapat dari tanah oloran yang kemudian menjadi pulau.
Sungai-sungai itu tidak kurang dari 50 sungai yang disebut kali. Mulai dari
kali yang cukup besar, yakni Kali Surabaya dari Mojokerto sampai Gunungsari.
Kemudian, terpecah menjadi dua kali yang agak besar, Kali Mas yang mengalir
dari Wonokromo ke arah Tanjung Perak.
Surabaya berkembang menjadi kota,
sering terjadi banjir dalam kota. Untuk mengatasi banjir itu, tahun 1896,
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat “sungai” atau “kanal” lurus dari
kali Surabaya menuju arah Rungkut. Dulu, daerah yang dikenal dengan
Pacekan terdapat bendungan yang sekaligus dimanfaatkan untuk proyek penjernihan
air untuk PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum). Waktu itu, sumber air minum
Surabaya berasal dari Umbulan di pasuruan. Untuk penghematan biaya, maka
dibangunlah instalasi penjernihan air di Pacekan itu, dengan nama Instalasi
Ngagel.
Ada lagi Kali Anak yang mengalir ke
arah perbatasan Surabaya-Gresik. Dan, sisanya, kali-kali yang kecil, seperti:
Kali Asin, Kali Sosok, Kali Pegirian, Kali Kundang, Kali Ondo, Kali Rungkut,
Kali Waron, Kali Kepiting, Kali Judan, Kali Mir, Kali Dami, Kali Lom, Kali
Deres, Kali Jagir, Kali Wonorejo dan masih puluhan kali lagi yang kecil-kecil.
Sebagai muara sungai besar, di muara
itu mengendaplah lumpur, apalagi berulangkali lumpur letusan Gunung Kelud,
hanyut ke muara dan membentuk pulau-pulau. Dari berbagai pulau yang merupakan
kepulauan itu, lahirlah Surabaya. Pulau-pulau itu memang tidak begitu menonjol,
kecuali Pulau Wonokromo dan Pulau Domas. Sedangkan yang lainnya berbentuk rawa
dan danau-danau kecil yang disebut kedung, serta sebagian dijadikan tambak. Ada
lagi yang masih berbentuk karang.
Maka, tidak heran kalau di seantero
Kota Surabaya saat ini nama tempat diawali dengan nama kedung, tambak dan
karang. Contoh, Tambaksari, Tambakasri, Tambakoso Wilangun, Tambakbayan,
Tambakjati, Tambakrejo, Tambakmadu, Kedungdoro, Kedungsari, Kedungasem, Kedung
Baruk, Kedung klinter, Kedungsroko, Kedungcowek, Kedungmangu, Karangmenjangan,
Karangasem, Karangrejo, Karang Tembok, Karanggayam dan lain-lain. Juga ada yang
berbentuk tegal, seperti Tegalsari. Konon di Tegalsari atau daerah Surabayan
inilah cikal-bakal penduduk daratan Surabaya yang kemudian berkembang sampai ke
daerah Bubutan dan sekitar yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Adipati
Surabaya.
Seiring dengan perkembangan ruang
dan waktu, pola kehidupan berubah. Kehidupan di dunia pantai yang berubah
menjadi pelabuhan itulah yang mendorong terjadinya kegiatan kemaritiman. Dunia
maritim ini saling tunjang dengan perdagangan dan industri. Inilah ciri khas
Surabaya pada awalnya, yang kemudian berkembang ke arah pendidikan, budaya dan
pariwisata seperti sekarang ini.
3.2
Saran
Selain dongeng, juga ada cerita dari
cerita yang disampaikan secara berkesinambungan dari nenek moyang kepada kakek,
dari kakek atau nenek kepada ayah dan ibu, kemudian dari ibu kepada anak dan
cucu, terus pula kepada cicit dan buyut, begitu seterusnya sampai sekarang ini.
Sedangkan sekarang bagaimana kita harus benar- benar menjaga nama kota ini dan
melesterikannya dengan cara menjaga kebersihannya, sehingga tidak ada
pencemaran lingkungan seperti sekarang ini.
0 Response to "MAKALAH SEJARAH"
Post a Comment