PEPER PENDIDIKAN
BAB I. PENDAHULUAN
Sebagian besar orang tua zaman dulu menjadikan
profesi guru sebagi idaman bagi anak-anaknya, karena posisi itu memiliki nilai
lebih di mata masyarakat. Ini tercermin misalnya , pada kebanyakan orang Jawa,
sebutan mas atau pak guru masa itu merupakan sebutan yang sangat istimewa
sekaligus sebutan yang mengandung makna penghormatan. Bahkan, sejak jaman
penjajahan atau awal kemerdekan, profesi guru disanjung-sanjung. Guru memiliki strata
sosial yang begitu menjul sehingga mencucuk atap langit. Apalagi di desa-desa,
sosok guru biasa dikatakan setara dengan kaum priayi, penuh wibawa dan cukup
disegani. Tidak mengherankan kalau waktu itu setiap orang tua menginginkan
anak-anaknya menjadi guru. Namun hal itu berbeda sekali dibandingakn dengan
posisi guru zaman sekarang . Belakangan ini, profesi guru dipandang sebagai
pelabuhan terakhir dari para lulusan sekolah guru yang serba pas-pasan. Bahkan
banyak orang tua yang ogah mendorong anaknya untuk menjadi guru. Selain gajinya
yang minim, wajah profesi ini sering kali tercoreng oleh sebagian oknum guru.
Sebagi contoh, ada guru yang memperkosa siswanya sendiri, menganiaya anak
didik, pilih kasih, tidak adil, dan masih banyak kasus yang ‘memilukan’
lainnya. Belum lagi profesionalisme guru di Indonesia umumnya tidak tampak.
Seperti disinggung mantan Mendiknas Wardiman Djoyonegoro ketika diwawancarai
sebah stasiun televisi, beberapa waktu lalu, bahwa sebagian besar guru (57%)
tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak professional.Karuan
saja kualitas pendidikan kita jauh dari harapan dan kebutuhan. Persoalannya,
banyak guru sekarang yang malas untuk mempelajari semua hal yang berkaitan
dengan bidangnya masing-masing, dan ini berdampak pada kemandekan kreativitas
dan mutu dalam pembelajaran. Buntutnya, pendidikan kita kurang berpengaruh langsung pada
kehidupan pribadi dan watak peserta didik. Dalam kehidupan sehari-hari, sering
kita saksikan (baik melalui media cetak maupun elektronik) berbagai kejahatan
yang dilakukan anak-anak yang masih berusia belasan tahun. Diantara mereka
telah menjadi generasi muda yang kerdil, mengambang, banyak omong tapi otaknya
ompong, tahunya cuma obat-obatan telarang, yang kreativitsnya hanya melulu di dunia hiburan.
Memang, kondisi lingkungan sekitar selama ini kurang kondusif bagi dunia
pendidikan.
BAB 2. PERAN DAN FUNGSI GURU
Guru
ataupun dikenali juga sebagai “pengajar”, “pendidik”, dan “pengasuh” merupakan
tenaga pengajar dalam institusi pendidikan seperti sekolah yang tugas utamanya
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik. Guru sebagai pengajar ialah orang yang memiliki kemampuan paedagogi
sehingga mampu mengutarakan apa yang ia ketahui kepada peserta didik sehingga
menjadikan kefahaman bagi peserta didik tentang materi yang ia ajarkan kepada
peserta didik. Seorang pengajar akan lebih mudah mentransfer materi yang ia
ajarkan kepada peserta didik, jika guru tersebut benar menguasai materi dan
memiliki ilmu atau teknik mengajar yang baik dan sesuai dengan karakteristik
pengajar yang professional. Sebagai contoh pengajar yang kompeten sehingga
berhasil mencetak siswa-siswa yang pandai dan menguasai materi adalah Yohanes
Surya. Proses pembelajaran (learning proses) yang dilakukannya dalam membimbing
tim olimpiade fisika menuju keberhasilan di tingkat internasional bias
dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran bagi guru-guru lainnya. Tidak
tanggung-tanggung, mesti para siswa itu hanya berpendidikan SMA dan satu
diantaranya berpendidikan SMP, ilmu yang dipelajari selama masa bimbingan dalam
beberapa aspek setara dengan pengetahuan pascasarjana. Sehingga dengan
kefahaman dan kesiapan yang matang, para siswa tidak canggung dalam
menyelesaikan yang diberikan dalam kompetisi olimpade.
2.1 Guru sebagai pendidik
Pendidik
adalah seiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai
tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnado, 1989:44). Sehinggga
sebagai pendidik, seorang guru harus memiliki kesadaran atau merasa mempunyai
tugas dan kewajiban untuk mendidik. Tugas mendidik adalah tugas yang amat mulia
atas dasar “panggilan” yang teramat suci. Sebagai komponen sentral dalam system
pendidikan, pendidik mempunyai peran utama dalam membangun fondamen-fondamen
hari depan corak kemanusiaan. Corak kemanusiaan yang dibangun dalam rangka
pembangunan nasional kita adalah “manusia Indonesia seutuhnya”, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya diri disiplin,
bermoral dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal itu, keteladanan dari
seorang guru sebagai pendidik sangat dibutuhkan.
Dapat
dikatakan bahwa guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda,
sebagai pengajar dan pendidik. Maka guru secara otomatis mempunyai tanggung
jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Begitu besarnya peranan
guru sebagi pengajar dan pendidik, maka harus diakui bahwa kemajuan pendidikan
di bidang pendidikan sebagian besar tergantung pada kewenangan dan kemampuan
staff pengajar (guru). Pendidikan Indonesia akan maju jika staff pengajar
(guru) sebagai kemampuan sentral dalam sistem pendidikan memiliki kualitas yang
baik pula. Pendidikan Indonesia memerlukan guru yang memiliki kompetensi
mengajar dan mendidik yang inovatif, kreatif, manusiawi, cukup waktu untuk
menekuni tugas profesionalnya, dapat menjaga wibawanya di mata peserta didik
dan masyarakat (menjaga “profesionalitas conscience”) dan mampu meningkatkan
mutu pendidikan. Untuk mendapatkan guru yang demikian, dua hal yang perlu
mendapatkan perhatian yaitu pendidikan mereka (terutama pada pre-service
training atau pemantapan program pendidikan guru, bukan pada in training
service) dan kesejahteraan mereka .
Peningkatan
kesejahteraan guru memiliki peran penting dalam usaha memperbaiki pendidikan
Indonesia yang sedang terpuruk. Bank Dunia memberikan mutu guru guna memacu
mutu pendidikan tidak akan berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak
terpecahkan (Suroso. 2002). Selain itu, peningkatan kesejahteraaan bisa
berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di sekolah. Sebab, korupsi
yang dipraktekkan guru umumnya didorong factor kebutuhan (corruption by need).
Untuk menyiasati kecilnya gaji, mereka mengutip berbagai biaya ekstra dari
murid, seperti menjual soal ujian atau mengadakan kegiatan
ekstrakurikuler.
2.2 Korban korupsi
Berkaitan
dengan korupsi, sangat menarik melihat posisi guru. Pada satu sisi, masyarakat
menempatkan mereka sebagai aktor utama di balik mahalnya biaya sekolah. Namun,
di sisi lain, guru kerap dikerjai pejabat di atasnya, seperti gaji atau honor
kegiatan dipotong tanpa alasan. Gambaran tersebut memberikan penjelasan bahwa
sebenarnya guru merupakan pelaku sekaligus korban korupsi. Namun, dua posisi
tersebut tidak berdiri sendiri karena yang menjadi penyebab guru melakukan
korupsi adalah korupsi atau perlakuan tidak adil pejabat di atasnya.
Setidaknya
ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan hal itu. Yang pertama adalah kenyataan
bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran
untuk mendudkung proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, sewaktu penulis
mengajar di salah satu sekolah menengah pertama swasta di Jakarta, biaya yang
dikeluarkan setiap kali datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp 45
ribu, belum termasuk makan. Sedangkan bayaran mengajar Rp 10 ribu per jam.
Karena mengajar dalam semingu hanya enam jam, total pendapatan yang diterima Rp
60 ribu setiap bulan. Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total
pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp 180 ribu (4 minggu dikali Rp 45 ribu),
padahal gaji hanya Rp 60 ribu. Jadi setiap bulan deficit Rp 120 ribu.
Alternatif menutup deficit dan kebutuhan hidup adalah mencari dana ekstra dari
siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa
sekolah, bisa
juga di pangkalan ojek.
Kedua, guru bukan penentu kebijakan
di sekolah. Umumnya guru diposisikan sebagai pengajar yang bertugas mentransfer
pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis apalagi
financial sering diabaikan. Hasil penelitian Indonesian Corruption Watch pada
beberapa kota di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui
kebijakan apa saja yang digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum
pernah melihat bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di
sekolahnya.
Padahal
keuangan sekolah, baik bersumber pada pemerintah, orang tua murid, maupun pihak
lain, dicantumkan dalam APBS. Karena itu, agar bisa melakukan korupsi, terlebih
dahulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian, guru, yang umumnya tidak ikut
merencanakan dan mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor di balik
maraknya korupsi di sekolah.
Ketiga,
guru merupakan mata rantai terlemah di antara penyelenggara pendidikan lain
sehingga selalu menjadi korban mata rantai yang lebih kuat, seperti kepala
sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Selain guru menjadi korban obyekan
atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil.
Penelitian Indonesian Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta
dan Tangerang memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai
setengah porsi untuk kepala sekolah.
Secara
ekonomi, penikmat hasil korupsi bukanlah guru. Nasibnya seperti istilah orang
lain yang makan nangka, tapi guru yang terkena getahnya. Stigma biang keladi
korupsi di sekolah membuat citra guru jatuh di hadapan orang tua dan murid.
Padahal tuntutan profesinya bukan hanya kemahiran dalam menyampaikan materi
pelajaran, tapi juga keterampilan untuk menjadi contoh. Guru korup adalah guru
buruk dan guru buruk tidak bisa dijadikan contoh.
Karena
itu, guru sebenarnya memiliki kepentingan ikut memberantas korupsi, khususnya
di sector pendidikan. Sebab, selain dapat mengembalikan citra, apa yang mereka
lakukan akan menjadi pembelajaran sangat efektif, tidak hanya bagi murid, tapi
juga bagi masyarakat umum. Usaha memberantas korupsi bisa diawali dengan
perjuangan memperbaiki nasib guru sendiri. Peluang tersebut sangat terbuka
dengan mendorong Undang-Undang Guru sesuai dengan tujuan awal: mengangkat
harkat dan derajat guru. Walau undang-undang itu sudah disahkan, peluang
perbaikan belum tertutup.
BAB 3. MUTU PENDIDIKAN
Dalam rangka umum, mutu mengandung makna derajad (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa, baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam “proses pendidikan” yang bermutu, terlibat berbagai input, seperti bahan ajar (kognitif, afektif dan psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta menciptakan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut. Antara lain mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar, baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun non akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran.
Mutu
dalam konteks “hasil Pendidikan” mengacu pada prestasi yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir
semester, akhir tahun, 2 tahun, atau 5 tahun bahkan 10 tahun). Prestasi yang
dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes
kemampuan akademis (misal : ulangan harian, ujian semester atau ujian nasional).
Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olahraga,
seni atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa
kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin,
keakraban, saling menghormati, kebersihan dan lain-lain.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya. Beberapa input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab sekolah dlam school based quality improvent bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik (kognitif) dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar nilai).
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya. Beberapa input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab sekolah dlam school based quality improvent bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik (kognitif) dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar nilai).
3.1 Mutu Pendidikan Indonesia.
Pembangunan
Pendidikan Indonesia mendapat roh baru dalam pelaksanaanya sejak disahkannya
Undang-Undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selaras
dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasinal maka Visi Pembangunan Pendidikan
Nasional adalah “Terwujudnya Manusia Indonesia Yang Cerdas, Produktif, dan
Berakhlak Mulia”. Beberapa indicator yang menjadi tolok ukur keberhasilan dalam
pembangunan pendidikan nasional : a). Sistem pendidikan yang efektif, efisien.
b). Pendidikan nasional yang merata dan bermutu. c). Peran serta masyarakat
dalam pendidikan, dan lain-lain.
Keberhasilan
tim olimpiade di kancah internasional dalam meraih medali, belum cukup untuk
dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan di tanah air. Karena
keberhasilan tersebut hanya dicapai oleh beberapa siswa saja dari jutaan siswa
Indonesia yang sebagian besar dapat dikatakan kualitasnya masih kurang.
Kenyataan ini terindikasi dari standar nilai kelulusan (dalam ujian nasional
yang masih diperdebatkan keberadaannya) dari tiga mata pelajaran yang diujikan
(Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika) nilai kelulusan yang
ditetapkan minimal 4,25. Sedangkan kita lihat negara-negara lain seperti
Malaysia memakai standar nilai kelulusan 6 dan Singapura 8 dan posisi Indonesia
hanya sebanding dengan Filipina (Koran Tempo, 17 Juli 2006).
3.2 Peran Guru
terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan
Guru
dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan
pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam
mencapai kemajuan pendidikan. Secara teoritis dalam peningkatan mutu pendidikan
guru memilki peran antara lain : (a) sebagai salah satu komponen sentral dalam
system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu
instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil
pendidikan dengn mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia
seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya
diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung arti
bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk
mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai
generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan
dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman
dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di
lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi. Yang menjadi
pertanyaan sekarang ini adalah Benarkah guru sebagai penentu keberhasilan
pendidikan Indonesia?.
Mencermati
dan memperhatikan Pendidikan di Indonesia, timbullah suatu permasalahan yang
menjadi permasalahan nasional, terutama menyangkut masalah standar kelulusan
siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain. Kelulusan
siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik serta membimbing
dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan mengajar, tetapi
cukup ditentukan dengan hasil UN selama 2 jam yang sudah
ditentukan
standar nilai minimumnya. Suatu hal yang tidak logis untuk menilai seseorang
mampu dan tidak mampu hanya dari satu aspek saja yaitu aspek kognitif,
sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang diamati dan dinilai
oleh orang yang membmbing, orang yang membina di sini peran guru dikebirikan.
Beberapa kasus terjadi, ada seorang siswa yang sering menjuarai berbagai
olimpiade sampai tingkat Nasional, berperilaku baik dan santun namun pada saat
kelulusan ia dinyatakan tidak lulus. Di sisi lain ada seorang siswa yang kurang
baik dalam berperilaku, sering bolos dan tidak sopan, namun ia mendaat nilai
tertinggi saat kelulusan. Sungguh ketidak adilan dalam hal ini sangat menonjol.
Di
sinilah permasalahan pendidikan di Indonesia yang memunculkan suatu pertanyaan
terhadap kelulusan siswa yang hanya ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional,
sedangkan materi lain dan keaktifan serta intelektual siswa lainnya yang
menyangkut aspek afekti dan psikomotorik siswa tidak dinilai. Jadi peran guru
sebagai pengajar sekaligus pendidik disini kurang menentukan hasil pendidikan
jika tolok ukuranya masih demikian.
BAB 4. KESIMPULAN
Dalam peningkatan Mutu Pendidikan, guru memiliki peran antara lain : (a) sebagai salah satu komponen sentral dalam system pendidikan, (b) sebagai tenaga pengajar sekaligus pendidik dalam suatu instansi pendidikan (sekolah maupun kelas bimbingan), (c) penentu mutu hasil pendidikan dengn mencetak peseta didik yang benar-benar menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman danbertaqwa kepada Tuhan YME, percaya diri, disiplin, dan bertnggung jawab, (d) sebagai factor kunci, mengandung arti bahwa semua kebijakan, rencana inovasi, dan gagasan pendidikan yang ditetapkan untuk mewujudkan perubahan system pendidikan, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, (e) sebagai pendukung serta pembimbing peserta didik sebagai generasi yang akan meneruskan estafet pejuang bangsa untuk mengisi kemerdekaan dalam kancah pembangunan nasional serta dalam penyesuaian perkembangaanjaman dan teknologi yang semakin spektakuler, (f) sebagai pelayan kemanusiaan di lingkungan masyarakat, (g) sebagai pemonitor praktek profesi.
Proses
belajar mengajar pada dasarnya merupakan satu bentuk komunikasi yang terjalin
antara komunikator dalam hal ini pengajar yang menyalurkan pesan berupa materi
pengajaran kepada komunikan yaitu pelajar melalui media lisan atau dengan
bantuan teknologi komunikasi lain, sebagai akibatnya pelajar tahu materi yang
disampaikan dan melaksanakannya dan inilah tujuan utama dari proses belajar
mengajar.
Kemampuan/keterampilan guru dalam melakukan kegiatan komunikasi akan mempengaruhi proses yang akhirnya berujung pada hasil. Bukan berarti murid yang cerdas disebabkan oleh kemampuan guru dalam melakukan komunikasi. Setidaknya murid yang kurang pandai mampu menelaah pesan/gagasan yang ditransfer dalam proses komunikasi yang baik oleh seorang guru yang terampil.
Kemampuan/keterampilan guru dalam melakukan kegiatan komunikasi akan mempengaruhi proses yang akhirnya berujung pada hasil. Bukan berarti murid yang cerdas disebabkan oleh kemampuan guru dalam melakukan komunikasi. Setidaknya murid yang kurang pandai mampu menelaah pesan/gagasan yang ditransfer dalam proses komunikasi yang baik oleh seorang guru yang terampil.
DAFTAR PUSTAKA
Sumitro, dkk. 2006 . Pengantar Ilmu Pendidikan . Yogyakarta : FMIPA UNY
Rozali Ritonga . 2006 . Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010 . Jakarta : Tempo Interaktif
Naniek Setijadi
. 2004 . Tantangan Profesionalisme Guru Masa Depan . Jakarta : Tempo Interaktif
www.kompascom – selasa, 17 Oktober 2006.
www.kompascom – selasa, 17 Oktober 2006.
0 Response to "PEPER PENDIDIKAN"
Post a Comment