BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang MAKALAH SEJARAH ILMU KALAM ( TENTANG ILMU KALAM )
MAKALAH TENTANG ILMU KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Kita sudah tahu apa yang terjadi ketika
peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Saidina Muawiyah ra. Pihak
Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak
dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim.Akibat itu golongan Ali
terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan
golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan
tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah
orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang
ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah
yang sah harusdiperangi.Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij
yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Saidina Muawiyah dan keluar dari
Saidina Ali.
Kemudian selain Khawarij, umat islam
juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak
sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman
atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang
muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim
dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Setiap orang Islam harus mengetahui
macam dan bentuk paham Khawarij dan Murji’ah, agar kita bisa mengambil
pelajaran penting yang bisa diambil dari kedua paham tersebut. Memang kedua
golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya masih
berkeliaran dimana-mana.
1. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah kemunculan Khawarij?
2.
Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin
Khawarij?
3.
Bagaimana perkembangan Khawarij?
4.
Bagaimana sejarah kemunculan Murji’ah?
5.
Bagaimana pemikiran dan doktrin-doktrin
Murji’ah?
6.
Apa saja sekte-sekte Murji’ah?
7.
Perbandingan antara Khawarij dan
Murji’ah.
2. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, kami
mencoba mengulas tentang sejarah kemunculan khawarij, pemikiran dan
doktrin-doktrin khawarij, perkembangan khawarij, sejarah kemunculan murji’ah,
pemikiran dan doktrin-doktrin murji’ah, dan sekte-sekte murji’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
I.2 KHAWARIJ
Latar Belakang
Dan Sejarah Munculnya Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi
Islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani,
bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dar imam yang hak
dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin,
atau pada masa tabi’in secara baik-baik[1]. Nama Khawarij berasal dari kata
“kharaja” berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar
dari barisan Ali.[2]
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi
adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima
arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam
terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun
37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan
khalifah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang
Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah
yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak
yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan
di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak
permintaan itu. Namun, karena desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin
Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat
terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan
peperangan. [3]
Setelah menerima ajakan damai, Ali
bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi
orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas
berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali
mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara
berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya
sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah
pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan
mengatakan,”mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain
selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada
saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju
Hurura.
Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka
smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada
Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin
Shahab Ar-Rasyibi.[4]
1.2.1 Doktrin-doktrin
pokok Khawarij.
1. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh
seluruh umat islam.
2. Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah
apabila sudah memenuhi syarat.
3. Khalifah dipilih secara permanen
selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus
dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman[5].
4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,
Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi
setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu
Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
7. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
8. Seseorang yang berdosa besar tidak
lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi,
mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
9. Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi
karena hidup dalam dar al-harb (Negara
musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang
menyeleweng.
11. Adanya wa’ad dan wa’id (orang
yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam
neraka).
12. Amar ma’ruf nahyi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak
mutasabihat (samar)
14. Quran adalah makhluk.
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari
Tuhan.
1.2.2 Perkembangan
Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan
terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih
yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang
dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua
bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman,
Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan
abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte
pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat
bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.
Al-Muhakkimah
5. Al-Ajaridah
2.
Al-Azriqah
6. As-Saalabiyah
3.
An-Nadjat
7. Al-Abadiyah
4.
Al-Baihasiyah
8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan
persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap
mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi
primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya sebagai
pelengkap saja.
Semua aliran yang bersifat radikal, pada
perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai khawarij, selama didalamnya
terdapat indikasi doktrin yang identic dengan aliran ini. Berkenaan dengan ini
Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat
dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
1.
Mudah mengafirkan orang yang tidak
segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
2.
Islam yang benar adalah islam yang
mereka pahami dan amalkan.
3.
Orang-orang islam yang tersesat dan
menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang
seperti mereka pahami dan amalkan.
4.
Karena pemerintahan dan ulama yang tidak
sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan
mereka sendiri.
5.
Mereka bersifat fanatic dalam paham dan
tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.
1.3. MURJI’AH
1. Sejarah kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja
atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi
harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di
belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dariiman.Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang
menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah
serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[6]
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai
reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan
terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh
aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa tahkim itu.dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah
yang mengetahui keadaan iman seseorang.Demikian pula orang mukmin yang
melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa teori yang berkembang
mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme(terikat pada satu aliran saja),
baik sebagai kelompok politik maupun teologis.
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah
sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu
soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke
bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah
Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya
terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya
Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu
kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah
dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah
mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling
bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah
menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan
keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia
dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ke tiga golongan itu
terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul
satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut
dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan
itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang
yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu,
mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan
memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di
hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu
itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa
besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan
pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij
menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang
berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua
kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa
besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir.[7]
Aliran Murji’ah ini berkembang sangat
subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan
tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat
laun aliran ini tak mempunyai bentuk lagi, bahkan beberapa ajarannya diakui
oleh aliran kalam berikutnya. Sebagai aliran yang berdiri sendiri, golongan
Murji’ah ekstrim pun sudah hilang dan tidak bisa ditemui lagi sekarang.
Namun ajaran-ajarannya yang masih ekstrim itu masih didapati pada sebagian umat
Islam yang menjalankan ajaran-ajarannya. Kemungkinan mereka tidak sadar bahwa
mereka sebenarnya mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.
1.3.1 Pemikiran
dan doktrin-doktrin Murji’ah
1. Berkaitan dengan teologi Murji’ah, W. Montgomery
Watt merincinya sebagai berikut :[8]
2. Penangguhan keputusan terhadap Ali
dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
3. Penangguhan Ali untuk menduduki
rangking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar- Rasyidun.
4. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
5. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai
pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan
Helenis.[9]
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun
Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :[10]
1.
Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr
bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada
Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan keputusan kepada Allah atas
orang muslim yang berdosa besar.
3.
Meletakkan (pentingnya) imal daripada
amal.
4.
Memberikan pengharapan kepada muslim
yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abdul A’la al-Maududi menyebut ajaran
Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
1.
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-nya
saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya
iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun
meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.
Dasar keselamatan adalah iman semata.
Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madharat
ataupun gangguan atas seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya
dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.
1.3.2 Sekte-sekte
Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok
Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung
Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika
para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain
karena ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh pengamat
lain. Tokoh yang dimaksud antara lain Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu
Hanifah dari ahlus Sunnah.[11]
Pimpinan dari kaum Murji’ah adalah Hasan
Ibn Bilal al-Muzni, Abu Salat as-Saman, Tsauban, Dirar Ibn Umar. Penyair mereka
yang terkenal pada masa Bani Umayyah adalah Tsabit Ibn Quthanah yang
mengarang sebuah syair tentangI’tiqad dan
kepercayaan kaum Murji’ah.
Secara garis besar, kelompok Murji’ah
terbagi kepada dua golongan yakni golongan moderat dan golongan ekstrim.
Golongan Murji’ah moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murjiah di atas.
Sementara itu, golongan Murji’ah ekstrim memiliki doktrin masing-masing. Yang
termasuk golongan Murji’ah ekstrim antara lain:
1.
Golongan al-Jahmiyah yang dipelopori
oleh Jahm Ibn Sofwan. Berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang
sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datang
dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya
hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga
dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semat.
2.
Golongan al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan as-Sahili. Sama dengan pendapat al-Jahmiyah, golongan
ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui)
kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak
mengetahui Allah SWT. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang
disebut ibadah itu adalah beriman kepada Tuhan dalam arti mengetahui Tuhan.
3.
Golongan Yunusiah pengikut Yunus Ibn
an-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang
Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu.
Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan
karena ketaburannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama
sekali tidak merusak iman.
4.
Golongan al-Ubaidiyah dipelopori oleh
Ubaid al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan golongan al-Yunusiah.
Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan
beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan
jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik,
banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
5.
Golongan al-Gailaniyah dipelopori oleh
Gailan al-Dimasyaqi. Berpendapat bahwa ima adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah SWT melalui
nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta)
dan tunduk kepada-Nya.
6.
Golongan al-Saubaniyah dipimpin oleh Abu
Sauban. Prinsip ajaranya sama dengan sekte al-Gailaniyah, namun mereka
menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu
yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
7.
Golongan al-Marisiyah dipelopori oleh
Bisyar al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-nya, juga harus
diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari
iman.
8.
Golongan al-Karamiyah dipelopori oleh
Muhammad Ibn Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan
kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat
diketahui melalui pengakuannya secara lisan.
9.
Golongan al-Khassaniyah. Berpendapat
jika seseorang mengatakan, “saya tahu bahwa Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, orang yang
demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “saya tahu
Tuhan mewajibakan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di
India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin.
Menyikapi ajaran-ajaran Murji’ah yang ekstrim itu,
menurut Harun Nasution ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral
atau masyarakat yang bersifat permissive,
masyarakat yang dapat mentolelir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma
akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak
bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut
faham demikian. Oleh karena itu, nama Murji’ah pada akhirnya mengandung arti
tidak baik dan tidak disenangi oleh mayoritas umat islam.
1.4 PERBANDINGAN
ANTARA KHAWARIJ DAN MURJI’AH.
Untuk melihat gambaran perbedaan pendapat
antara aliran yang terdapat dalam aliran Khawarij dan Murji’ah, berikut
ini akan dipaparkan kembali berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya,
meliputi: Pelaku dosa besar, iman dan kufur.
Dalam hal menyikapi pelaku dosa besar,
aliran Khawarij langsung memfonis bahwa semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), kecuali sekte al-Najdah,adalah kafir atau murtad sehingga wajib
dibunuh dan akan disiksa di neraka selama-lamanya. Sekte al-Azariqah, menggunakan istilah musyrik, yaitu
memandang musyrik terhadap yang tidak mau bergabung dengan barisan mereka dan
yang tidak sefaham dengan mereka. Pelaku dosa besar (membunuh, berzina, dll)
dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafirmillah (agama) yang berarti telah keluar dari
Islam, kekal di neraka bersama orang-orang kafir lainnya. Sekte al-Muhakimat menyatakan, Ali, Muawiyah, Amr bin
Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua orang yang menyetujui arbitrase adalah bersalah dan menjadi kafir
termasuk orang yang berbuat dosa besar (berzina, membunuh manusia tanpa sebab,
dosa besar lainnya).
Sedangkan aliran Murji’ah memberikan
pengharapan kepada masyarakat. Sekte Murji’ah ekstrim terkenal dengan kredonya
bahwa perbuatan maksiat tidak dapat membawa kekufuran. Menurut mereka, keimanan
terletak di dalam kalbu, adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan
refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agam tidak berarti telah
menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata
tuhan. Mereka memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun
sekte Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi
kafir. Meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung
pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan
mengampuni dosanya hingga ia bebas dari siksaan neraka. Abu Hanifah dan
pengikutnya termasuk pada sekte Murji’ah moderat ini.
Kemudian pendapat dalam hal menyikapi
iman dan kufur, aliran Khawarij memandang masalah iman dan kufur lebih
bertendensi politik ketimbang ilmiah-teoritis. Menurutnya, iman tidak
semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama
juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh karena itu, Khawarij menganggap kafir
bagi siapapun yang beriman kepada Allah dan Muhammad Rasul-Nya, namun tidak
melaksanakan perintah kewajiban agama dan malah melakukan dosa.
Aliran Murji’ah yang ekstrim
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Segala ucapan dan
perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser
atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan
Tuhan. Sementara itu, Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir meskipun disiksa dalam neraka, ia tidak kekal di
dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
Khawarij sebagai sebuah aliran telogi
adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan
barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima
arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Khalifah atau imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat islam, khalifah tidak harus berasl dari keturunan Arab,
khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan
menjalankan syariat, khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi setelah tahun
ketujuh dari masa khalifahnya, utsman ra dianggap menyeleweng, Khalifah
Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim) ia dianggap telah
menyeleweng, Muawiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir, Pasukan perang Jamal yang melawan
Ali juga kafir, Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga
harus dibunuh, Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka, Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng, Adanya wa’ad
dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus
masuk ke dalam neraka), Amar ma’ruf nahyi munkar, Memalingkan ayat-ayat
Al-quran yang tampak mutasabihat (samar), Al-Quran adalah makhluk, Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Perkembangan khawarij semakin meluas dan
terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih
yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang
dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua
bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman,
Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan
abu Fudaika.
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi
atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap
orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran
khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa tahkim itu. dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang
mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan
dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Menurut W. Montgomery Watt merincinya
sebagai berikut :Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak, Penangguhan Ali untuk menduduki rangking
keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun, Pemberian harapan (giving of
hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah, Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab)
para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis.
Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte
Murji’ah yaitu : Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan; Ash-Shaliyah, pengikut
Abu Musa Ash-Shalahi; Al-Yunushiyah pengikut Yunus As-Samary; As-Samriyah
pengikut Abu Samr dan Yunus; Asy-Syaubaniyah pengikut Abu Syauban;
Al-Ghailaniyah pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy;
An-Najariyah pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr; Al-Hanafiyah pengikut Abu
Hanifah An-Nu’man; Asy-Syabibiyah pengikut Muhammad bin syabib; Al-Mu’aziyah
pengikut Muadz Ath-Thaumi; Al-Murisiyah pengikut Basr Al-Murisyi; Al-Karamiyah
pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
0 Response to "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang MAKALAH SEJARAH ILMU KALAM ( TENTANG ILMU KALAM )"
Post a Comment